Minggu, 13 Maret 2011

Perempuan dan Ledakan Penduduk

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tanggal 29 Juni yang jatuh beberapa hari yang lalu diperingati di Indonesia sebagai hari Keluarga Nasional (Harganas). Konon karena pada tanggal inilah dimulai Gerakan Keluarga Berencana (KB) Tahun 1970. Presiden Soeharto yang mencanangkan menjadi Hari Keluarga pada tahun 1993. Menarik, karena setiap berbincang tentang keluarga pada momen seperti ini, yang mencuat adalah berhasil tidaknya program KB (Keluarga Berencana) di Indonesia. Bahkan hasil sensus 2010 pun ditunggu-tunggu dengan harap-harap cemas oleh para pelaksana program KB. Sukses atau gagalkah KB di Indonesia pasca reformasi?
Berbicara tentang pertumbuhan penduduk di Indonesia yang selalu menjadi sorotan bahkan oleh negara Negara barat. tema inipun diangkat dalam sebuah seminar yang digelar oleh Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan di Kantor Depsos Jakarta, Tema seminar tersebut berjudul: Ledakan Penduduk: Bom Bunuh Diri?(Kompas, 6 Agustus 2009). Maksudnya adalah ledakan penduduk dipandang lebih berbahaya daripada ledakan bom teroris, karena menyentuh berbagai aspek seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sosial. Mereka berasumsi bahwa pertambahan penduduk dipandang sangat mengkhawatirkan karena tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan yang serba terbatas.






B. PERMASALAHAN
Jakarta, 21/2/2011 (Kominfo-Newsroom) Kepala Badan KoordinasiKeluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr. dr. Sugiri Syarief, MPAmengatakan masalah kependudukan menjadi isu yang sangat penting danmendesak utamanyaberkaitan dengan aspek pengendalian kuantitaspenduduk, peningkatan kualitas penduduk dan pengarahan mobilitaspenduduk.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Antisipasi Ledakan Penduduk

HASIL Sensus Penduduk yang dilakukan BPS bulan Mei tahun 2010 lalu menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia.Persisnya hari ini Jawa Barat memiliki 43.021.826 jiwa.Hampir dua puluh persen penduduk Indonesia berdomisili di provinsi yang bersebelahan dengan Jakarta, ibu kota Republik Indonesia. Angka tersebut mengandung sejumlah konsekuensi yang harus dimaknai sebagai tantangan dan tanggungjawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Jumlah penduduk yang besar memang mengkhawatirkan banyak pihak karena bagaimana caranya agar sumberdaya alam yang menganut deret hitung mampu memenuhi pertambahan penduduk yang melesat dengan deret ukur. Dalam kalimat yang lugas bagaimana caranya menyediakan bahan pangan dan hunian bagi warga yang terus bertambah di antara penyusutan lahan yang beralih fungsi.Belum lagi pertambahan penduduk berimplikasi pada jumlah layanan publik yang harus disediakan seperti puskesmas, sekolah dan ruang kelas, tenaga kesehatan, tenaga pendidikan, dan sarana prasarana lainnya.
Tentu penduduk yang besar tidak hanya membutuhkan sarana fisik, namun juga berpotensi melahirkan masalah-masalah sosial.Mengelola jumlah penduduk yang sedikit berbeda dengan jumlah penduduk yang besar. Sebagai contoh, provinsi Gorontalo yang berpenduduk kurang lebih 900.000 jiwa tentu tidak serumit dan sepelik sebagaimana Bupati Bogor mengelola warganya yang berjumlah 4,7 juta jiwa. Juga dapat dibayangkan bagaimana Bupati Sukabumi harus melayani warganya yang tersebar di 47 kecamatan.
Persoalannya lagi-lagi apakah program Keluarga Berencana yang selama ini didengung-dengungkan tidak berjalan baik di Jawa Barat? Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Barat, Soeroso Dasar menampik bahwa pertambahan jumlah penduduk di Jawa Barat karena kegagalan program KB. Dia menandaskan bahwa TFR (Total Fertility Rate) atau tingkat kesuburan alami Jawa Barat sudah mengalami penurunan sampai pada angka 1,89. Artinya pertambahan jumlah penduduk ini juga disebabkan oleh tingginya migrasi warga provinsi lain ke Jawa Barat.
Migrasi ke Jawa Barat ini memang banyak dipicu oleh realita bahwa Jakarta sebagai ibu kota tidak dapat lagi menyediakan hunian setelah perkembangannya menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian, maka ada pola pergeseran hunian ke arah pinggiran Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Jakarta, seperti Kota/Kabupaten Bekasi, Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan kota besar lainnya. Apalagi di Jawa Barat terdapat lima perguruan tinggi negeri (PTN) yang menjadi serbuan calon mahasiswa tidak hanya yang berasal dari pulau Jawa bahkan luar Jawa pun ikut berebut tempat di UI, IPB, ITB, Unpad, dan UPI. Belum lagi daya tarik lain yang ditengarai sebagai magnet penarik seperti aspek geografis, sosiologis, dan kultural. Alam yang indah dan subur, penduduknya yang 'someah', dan kekayaan unsur seni budayanya yang memikat.
Jika tidak ada langkah strategis dan terpadu, kita khawatir pada tahun 2025 jumlah penduduk Jawa Barat akan meningkat dua kali lipat. Lalu, apa kaitan perempuan dengan ancaman ledakan penduduk? Tentu, korelasinya sangat jelas.Masyarakat kita yang masih diwarnai nilai-nilai patriarkhi sering mengembalikan tanggungjawab pengendalian pertambahan penduduk kepada kaum perempuan.Masyarakat (baca: laki-laki) menganggap bahwa perempuan adalah orang yang sudah seharusnya melakukan atau mengikuti program pengaturan kelahiran karena perempuan yang mengalami kehamilan, perempuan yang merasakan sakitnya proses persalinan, perempuan juga yang banyak terlibat dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Akhirnya, perempuan juga yang mengambil alih tanggung jawab nafkah ketika sang suami atau laki-laki dalam keluarganya tak berdaya secara ekonomi.
Pemahaman bias seperti ini tidak hanya dimiliki laki-laki dalam skala individu, namun juga sudah menjadi pemahaman kolektif di ruang komunitas menganggap perempuanlah yang paling 'efektif' dijadikan alat pengendali laju pertambahan penduduk. Dari sekian banyak pilihan alat kontrasepsi, maka perempuan yang harus menggunakan mulai dari IUD, suntik, pil, susuk/implant, MOW sampai kondom untuk perempuan.dilihat dari peserta KB, ternyata yang paling banyak menjadi akseptor adalah perempuan. Boleh ditanya kepada petugas lapangan KB, berapa banyak laki-laki yang menjadi akseptor?Tentu tidak banyak dan sulitnya luar biasa mengajak mereka.Padahal, pertambahan penduduk ini tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab laki-laki.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.Mungkin itu ungkapan yang tepat bagi perempuan.Selain menjadi obyek pemasangan atau penggunaan alat kontrasepsi, seringkali perempuan juga menjadi 'korban' pengabaian petugas kesehatan terkait dengan hak kesehatan reproduksinya. Minimnya informasi, sikap dan raut wajah petugas, bahkan standar pelayanan-termasuk syndromic approach-yang sering, kalau tidak boleh dikatakan selalu, mewarnai proses dan kegiatan seputar kesehatan reproduksi perempuan. nampaknya relasi kuasa berlaku di sini bahwa lakilaki ada pada posisi superior, perempuan menjadi subordinat.
Sudah seharusnya kaum laki-laki dilibatkan dalam ruang dan peran yang sinergis sehingga mampu menekan angka kelahiran.Laki-laki yang tidak menggunakan alat kontrasepsi, sewajarnya memberikan dorongan, perhatian, dan motivasi bagi istrinya yang rela menjadi 'objek' alat kontrasepsi tersebut.Sudah sewajarnya para suami mengantar dan mendampingi istrinya saat pemasangan alat kontrasepsi.Dan sudah sewajarnya para suami responsif terhadap keluhan istri selama alat kontrasepsi tersebut terpasang atau digunakan.Ternyata pemahaman dan kesadaran laki-laki-para suami-sangat rendah untuk menghargai pengorbanan dan kerelaan istri menjadi 'alat pengendali' ancaman ledakan penduduk ini.
Bukan hanya dalam penggunaan alat kontrasepsi, ternyata kerelaan kaum perempuan juga nampak pada usaha mengokohkan ketahanan keluarga.Jika laki-laki yang mendapatkan bantuan ternak, seringkali bantuan tersebut tidak produktif. Bahkan di beberapa tempat, ketika ditanya di mana ternak bantuan pemerintah, sambil tersenyum 'oknum' laki-laki itu akan menjawab, "Aya di pengker, nuju nyeuseuh.".Jawaban itu menyiratkan bahwa bantuan tersebut digunakan sebagai modal untuk menambah istri. Sementara si perempuan sibuk mengantar anaknya ke posyandu, menemani sang buah hati mengikuti Pos PAUD, dan dengan telaten rajin hadir ke BKB.
Untuk menjamin keberlangsungan hidup keluarga, istri tekun dan sabar menjadi anggota UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga), UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera), atau koperasi perempuan yang ada di tengah masyarakat.Si istri pula yang dengan amanah mengembalikan pinjaman yang digunakan sebagai modal usaha sambil terus mengembangkan jenis usaha yang digeluti.Dengan sifat dasarnya yang jujur, telaten, dan ulet, justru yang paling banyak bertahan adalah usaha-usaha yang dikelola perempuan.Itu perempuan yang beruntung, masih ada kesempatan melakukan kegiatan ekonomi produktif.Bagaimana jika mereka harus seperti Sumiati yang nekat menempuh risiko menjadi buruh migran di negeri orang?
Belum lagi, potret perempuan yang tidak 'neko-neko' dan sering tidak punya pilihan akhirnya kadang ikut berkontribusi pada belum efektifnya upaya pendewasaan usia pernikahan sebagai salah satu program Keluarga Berencana. Perempuan sebagai ibu sering larut dan manut pada putusan suami atau tuntutan keadaan untuk menikahkan anaknya yang sudah tidak lagi bersekolah bahkan cenderung menjadi beban ekonomi keluarga.Sebagiannya mungkin juga merestui anaknya menekuni pekerjaan yang tidak bermartabat, seperti menjadi pemandu kafe atau penunggu warung remang-remang.
Dari gambaran di atas, memang pada akhirnya ledakan penduduk ini bukan hanya berkutat soal pasangan subur, akseptor, dan alat kontrasepsi, namun ia berpotensi menjadi bom waktu yang menghadirkan berbagai permasalahan sosial. Anak terlantar, gizi buruk, trafiking, tindak kriminalitas, buruh migran yang terabaikan, dan sederet persoalan yang judul besarnya kemiskinan.
Oleh karena itu, harus ada langkah-langkah strategis yang dilakukan baik di ruang struktural maupun kultural untuk menguatkan peran-peran perempuan yang ternyata sangat kontributif dalam upaya pencegahan ledakan penduduk ini. Perempuan harus dilatih untuk memiliki kemandirian dan rasa percaya diri serta berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan di keluarganya. Perempuan juga akan menjadi tiang penyangga perekonomian jika mendapat kesempatan dan pembinaan yang intensif. Mereka terbukti memiliki syarat-syarat sebagai ekonom, jujur, ulet, telaten, dan tidak menyimpangkan modal atau bantuan untuk kepentingannya sendiri.Perempuan tidak perlu menjadi korban trafiking, buruh migran, atau menekuni 'profesi' abu-abu jika mereka diberdayakan sebagaimana Muhammad Yunus mengangkat perempuan Bangladesh dengan Grameen Bank. Perempuan pada akhirnya akan menjadi penyangga ketahanan dan kekokohan keluarga yang tangguh karena sejatinya ia memiliki sikap tanggungjawab dan mendahulukan orang lain (altruist) dalam mengasuh, merawat, membesarkan, dan mendidik anak.
Pemerintah hendaknya mampu membangun koordinasi lintas sektoral sehingga lahir program yang efektif dan tepat sasaran, bukan lagi program yang rutin, monoton, dan tumpang tindih. Ada pembinaan dan pendampingan yang dilakukan bekerjasama dengan komponen masyarakat sehingga aspek pengawasan dan penilaian dapat dilakukan berdasarkan pengalaman empiris dan bukan lagi hanya 'katanya' dan 'katanya'. Pelibatan sektor swasta juga menjadi keniscayaan karena mereka harus menunaikan tanggungjawab sosialnya atau coorporate social responsibility (CSR) sebagai kompensasi dari pemanfaatan sumberdaya alam yang mereka gunakan menjadi bernilai ekonomis.CSR yang didasarkan pada masalah dan kebutuhan masyarakat dan bukan lagi CSR yang 'sekedar' menorehkan tanda cek list pada agenda tahunan perusahan.Semoga kebersamaan pemerintah, masyarakat sipil-yang setengahnya adalah perempuan, dan swasta bukan utopi untuk menghadapi tantangan ledakan penduduk.

















KESIMPULAN

Di sejumlah kalangan, ancaman pertumbuhan penduduk ini sudah dibicarakan, meskipun belum menjadi perhatian public. “Sudah saatnya mengingatkan kembali, jangan sampai timbul ledakan penduduk yang kita tutup-tutupi”.
























DAFTAR PUSTAKA

http://www.fpkb-dpr.or.id/menu/hn/1310-perlu-diantisipasi-ancaman-ledakan-penduduk?&cal_offset=-2p

http://florespos.com/article.php?article_id=88

http://jabar.tribunnews.com/read/artikel/37415/peran-perempuan-dan-ledakan-penduduk
http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/bkkbn-ingatkan-ancaman-ledakan-penduduk/

www.google.com
http://jurnalpemikiran.wordpress.com/2010/07/09/ledakan-penduduk-potensi-atau-ancaman/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar